Penilaian Higher Order Thingking Skill (HOTS)
PENILAIAN HOTS
A. PENGERTIAN
Penilaian menurut
Permendikbud No. 23 Tahun 2016 adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Proses
tersebut dilakukan melalui berbagai teknik penilaian, menggunakan berbagai instrumen,
dan berasal dari berbagai sumber agar lebih komprehensif. Penilaian harus
dilakukan secara efektif. Oleh sebab itu, pengumpulan informasi yang akan
digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik harus lengkap
dan akurat agar dihasilkan keputusan yang tepat.
Pengumpulan informasi
pencapaian hasil belajar peserta didik membutuhkan teknik dan instrumen
penilaian, serta prosedur analisis sesuai dengan karakteristik penilaian
masing-masing. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi dengan KD
sebagai kompetensi minimal yang harus dicapai oleh peserta didik.
Untuk mengetahui
ketercapaian KD, pendidik harus merumuskan sejumlah indikator pencapaian
kompetensi (IPK). IPK digunakan sebagai acuan penilaian. Pendidik atau satuan pendidikan
(sekolah) juga harus menentukan pencapaian kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Penilaian tidak hanya
difokuskan pada hasil belajar, tetapi juga pada proses belajar. Peserta didik
dilibatkan dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri dan penilaian antar
peserta didik (penilaian antar teman) sebagai sarana untuk berlatih melakukan
penilaian.
B. FUNGSI PENILAIAN
Penilaian bukan
sekadar untuk mengetahui pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian
dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam proses belajar. Selama ini,
seringkali penilaian cenderung dilakukan hanya untuk mengukur hasil belajar
peserta didik, sehingga penilaian diposisikan seolah-olah sebagai kegiatan
yang terpisah dari proses pembelajaran. Penilaian seharusnya dilaksanakan
melalui tiga pendekatan, yaitu assessment of learning (penilaian akhir
pembelajaran), assessment for learning (penilaian untuk pembelajaran), dan
assessment as learning (penilaian sebagai pembelajaran).
Assessment of learning merupakan penilaian yang dilaksanakan setelah
proses pembelajaran selesai. Proses pembelajaran selesai tidak selalu terjadi
di akhir tahun atau di akhir peserta didik menyelesaikan pendidikan pada
jenjang tertentu. Setiap pendidik melakukan penilaian yang dimaksudkan untuk
memberikan pengakuan terhadap pencapaian hasil belajar setelah proses
pembelajaran selesai, yang berarti pendidik tersebut melakukan assessment of
learning. Ujian Nasional, ujian sekolah/madrasah, dan berbagai bentuk penilaian
sumatif merupakan assessment of learning (penilaian hasil belajar).
Assessment for learning dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung
dan biasanya digunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses belajar
mengajar. Pada assessment for learning pendidik memberikan umpan balik terhadap
proses belajar peserta didik, memantau kemajuan, dan menentukan kemajuan
belajarnya. Assessment for learning juga dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk
meningkatkan performa peserta didik. Penugasan, presentasi, proyek, termasuk
kuis merupakan contoh-contoh bentuk assessment for learning (penilaian untuk
proses belajar).
Assessment as learning mempunyai fungsi yang mirip dengan assessment for
learning, yaitu berfungsi sebagai formatif dan dilaksanakan selama proses
pembelajaran berlangsung. Perbedaannya, assessment as learning melibatkan
peserta didik secara aktif dalam kegiatan penilaian tersebut. Peserta didik
diberi pengalaman untuk belajar menjadi penilai bagi dirinya sendiri. Penilaian
diri (self assessment) dan penilaian antar teman merupakan contoh assessment as
learning. Dalam assessment as learning peserta didik juga dapat dilibatkan
dalam merumuskan prosedur penilaian, kriteria, maupun rubrik/pedoman penilaian
sehingga mereka mengetahui dengan pasti apa yang harus dilakukan agar
memperoleh capaian belajar yang maksimal.
Selama ini assessment of learning paling dominan dilakukan oleh pendidik
di-bandingkan assessment for learning dan assessment as learning. Penilaian
pencapaian hasil belajar seharusnya lebih mengutamakan assessment as learning dan
assessment for learning dibandingkan assessment of learning, sebagaimana
ditunjukkan gambar di bawah ini.
PENULISAN DAN PENGEMBANGAN SOAL HOTS
A. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK HOTS
Salah satu taksonomi proses berpikir yang diacu secara luas adalah
taksonomi Bloom dan telah direvisi oleh Anderson & Krathwohl (2001). Dalam
taksonomi Bloom yang direvisi tersebut, dirumuskan 6 level proses berpikir,
yaitu:
C 1 = mengingat (remembering )
C 2 = memahami (understanding)
C 3 = menerapkan (applying)
C 4 = menganalisis (analyzing)
C 5 = mengevaluasi (evaluating)
C 6 = mengkreasi (creating)
Mengingat (remembering) merupakan level proses berpikir paling rendah.
Mengapa? Karena mengingat hanyalah memanggil kembali kognisi yang sudah ada
dalam memori. Memahami (understanding) satu level lebih tinggi dibandingkan
dengan mengingat. Seseorang yang memahami sesuatu akan mampu menggunakan
ingatannya untuk membuat deskripsi, menjelaskan, atau memberikan contoh terkait
sesuatu tersebut. Jika seseorang yang telah memahami sesuatu mampu melakukan
kembali hal-hal yang dipahaminya pada situasi yang baru atau situasi yang
berbeda, orang tersebut telah mencapai level berpikir aplikasi (applying).
Orang yang memiliki kemampuan menerapkan belum tentu mampu menyelesaikan
masalah (problem solving). Kemampuan menerapkan masih cenderung hanya
mengulangi proses yang sudah pernah dilakukan (rutin), sementara permasalahan
bisa jadi selalu berbeda dan umumnya tidak dapat diselesaikan dengan cara yang
sama (non rutin). Penyelesaian masalah sesungguhnya berkaitan dengan hal-hal
yang non rutin. Oleh karena itu, penyelesaian masalah memerlukan level berpikir
yang lebih tinggi dari mengingat, memahami, dan menerapkan. Level berpikir ini
disebut higher order thinking atau tingkat berpikir lebih tinggi.
Anderson dan Krathwohl mengategorikan kemampuan proses menganalisis
(analyzing), mengevaluasi (evaluating), dan mencipta (creating) termasuk
berpikir tingkat tinggi. Menganalisis adalah kemampuan menguraikan sesuatu ke
dalam bagian-bagian yang lebih kecil sehingga diperoleh makna yang lebih dalam.
Menganalisis dalam taksonomi Bloom yang direvisi ini juga termasuk kemampuan
Pada pemilihan kata kerja operasional (KKO) untuk merumuskan indikator
soal HOTS, hendaknya tidak terjebak pada pengelompokkan KKO. Sebagai contoh
kata kerja “menentukan‟ pada Taksonomi Bloom ada pada ranah C2 dan C3. Dalam
konteks penulisan soal-soal HOTS, kata kerja “menentukan‟ bisa jadi ada pada ranah C5 (mengevaluasi) apabila
untuk menentukan keputusan didahului dengan proses berpikir menganalisis
informasi yang disajikan pada stimulus lalu peserta didik diminta menentukan
keputusan yang terbaik. Bahkan kata kerja “menentukan‟ bisa digolongkan C6 (mengkreasi) bila pertanyaan
menuntut kemampuan menyusun strategi pemecahan masalah baru. Jadi, ranah kata
kerja operasional (KKO) sangat dipengaruhi oleh proses berpikir apa yang
diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan
Dilihat dari dimensi pengetahuan, umumnya soal HOTS mengukur dimensi
metakognitif, tidak sekadar mengukur dimensi faktual, konseptual, atau
prosedural saja. Dimensi metakognitif menggambarkan kemampuan menghubungkan
beberapa konsep yang berbeda, menginterpretasikan, memecahkan masalah (problem
solving), memilih strategi pemecahan masalah, menemukan (discovery) metode
baru, berargumen (reasoning), dan mengambil keputusan yang tepat
B. KARAKTERISTIK INSTRUMEN PENILAIAN HOTS
Soal-soal HOTS sangat direkomendasikan untuk digunakan pada berbagai
bentuk penilaian kelas dan Ujian Sekolah. Untuk menginspirasi guru menyusun
soal-soal HOTS di tingkat satuan pendidikan, berikut ini dipaparkan
karakteristik soal-soal HOTS.
Di bawah ini dideskripsikan beberapa karakteristik instrumen penilaian
berpikir tingkat tinggi (HOTS):
1. Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
The Australian Council for Educational Research (ACER) menyatakan bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses: menganalisis, merefleksi,
memberikan argumen (alasan), menerapkan konsep pada situasi berbeda, menyusun,
menciptakan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi bukanlah kemampuan untuk
mengingat, mengetahui, atau mengulang. Dengan demikian, jawaban soal-soal HOTS
tidak tersurat secara eksplisit dalam stimulus. Kemampuan berpikir tingkat
tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving),
keterampilan berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative
thinking), kemampuan berargumen (reasoning), dan kemampuan mengambil keputusan
(decision making). Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu
kompetensi penting dalam dunia modern, sehingga wajib dimiliki oleh setiap
peserta didik. Kreativitas menyelesaikan permasalahan dalam HOTS,
terdiri atas:
a. kemampuan menyelesaikan permasalahan yang tidak familiar;
b. kemampuan mengevaluasi strategi yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda;
c. menemukan model-model penyelesaian baru yang berbeda dengan cara-cara
sebelumnya.
‘Difficulty’ is NOT same as higher order thinking. Tingkat kesukaran
dalam butir soal tidak sama dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebagai
contoh, untuk mengetahui arti sebuah kata yang tidak umum (uncommon word)
mungkin memiliki tingkat kesukaran yang sangat tinggi, tetapi kemampuan untuk
menjawab permasalahan tersebut tidak termasuk higher order thinking skills.
Dengan demikian, soal-soal HOTS belum tentu soal-soal yang memiliki tingkat
kesukaran yang tinggi.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dalam proses
pembelajaran di kelas. Oleh karena itu agar peserta didik memiliki kemampuan
berpikir tingkat tinggi, maka proses pembelajarannya juga memberikan ruang
kepada peserta didik untuk menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas.
Aktivitas dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik untuk membangun
kreativitas dan berpikir kritis.
2. Bersifat Divergen
Instrumen penilaian HOTS harus bersifat divergen, artinya memungkinkan
peserta didik memberikan jawaban berbeda-beda sesuai proses berpikir dan sudut
pandang yang digunakan karena mengukur proses berpikir analitis, kritis, dan
kreatif yang cenderung bersifat unik atau berbeda-beda responsnya bagi setiap
individu.
Karena bersifat divergen, instrumen penilaian HOTS lebih mudah dirancang
dalam format tugas atau pertanyaan terbuka, misalnya soal esai/uraian dan tugas
kinerja. Apakah soal pilihan tidak dapat digunakan untuk mengukur HOTS?
Jawabannya dapat, asal proses berpikir untuk menjawab soal pilihan tersebut
bukan sekedar menghafal atau mengulang. Sebaliknya, setiap soal uraian juga
belum tentu HOTS jika untuk menjawabnya tidak memerlukan penalaran. Bahkan
tugas kinerjapun belum tentu HOTS, kalau hanya berbentuk resep sehingga peserta
didik hanya melakukan petunjuk yang diberikan.
3. Menggunakan Multirepresentasi
Instrumen penilaian HOTS umumnya tidak menyajikan semua informasi secara
tersurat, tetapi memaksa peserta didik menggali sendiri informasi yang
tersirat. Bahkan di era big data seperti sekarang ini, yaitu kemudahan
mendapatkan data dan informasi melalui internet, sudah selayaknya instrumen
penilaian HOTS juga menuntut peserta didik tidak hanya mencari sendiri
informasi, tetapi juga kritis dalam memilih dan memilah informasi yang
diperlukan.Untuk memenuhi harapan di atas, sebaiknya instrumen penilaian HOTS
menggunakan berbagai representasi, antara lain verbal (berbentuk kalimat),
visual (gambar, bagan, grafik, tabel, termasuk video), simbolis (simbol, ikon,
inisial, isyarat), dan matematis (angka, rumus, persamaan).
4. Berbasis permasalahan kontekstual
Soal-soal HOTS merupakan asesmen yang berbasis situasi nyata dalam
kehidupan sehari-hari, di mana peserta didik diharapkan dapat menerapkan
konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan masalah. Permasalahan
kontekstual yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini terkait dengan
lingkungan hidup, kesehatan, kebumian dan ruang angkasa, serta pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek
kehidupan. Dalam pengertian tersebut termasuk pula bagaimana
keterampilan peserta didik untuk menghubungkan (relate), menginterpretasikan
(interprete), menerapkan (apply) dan mengintegrasikan (integrate) ilmu
pengetahuan dalam pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan permasalahan dalam
konteks nyata. Berikut ini diuraikan lima karakteristik asesmen kontekstual,
yang disingkat REACT.
a. Relating, asesmen terkait langsung dengan konteks pengalaman
kehidupan nyata.
b. Experiencing, asesmen yang ditekankan kepada penggalian
(exploration), penemuan (discovery), dan penciptaan (creation).
c. Applying, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di dalam kelas untuk menyelesaikan
masalah-masalah nyata.
d. Communicating, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk
mampu mengomunikasikan kesimpulan model pada kesimpulan konteks masalah.
e. Transfering, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk
mentransformasi konsep-konsep pengetahuan dalam kelas ke dalam situasi atau
konteks baru.
Ciri-ciri asesmen kontekstual yang berbasis pada asesmen autentik,
adalah sebagai berikut.
a. Peserta didik mengonstruksi responnya sendiri, bukan sekadar memilih
jawaban yang tersedia;
b. Tugas-tugas merupakan tantangan yang dihadapkan dalam dunia nyata;
c. Tugas-tugas yang diberikan tidak hanya memiliki satu jawaban tertentu
yang benar, tetapi memungkinkan banyak jawaban benar atau semua jawaban benar.
5. Menggunakan bentuk soal beragam
Bentuk-bentuk soal yang beragam dalam sebuah perangkat tes (soal-soal
HOTS) sebagaimana yang digunakan dalam PISA, bertujuan agar dapat memberikan
informasi yang lebih rinci dan menyeluruh tentang kemampuan peserta tes. Hal
ini penting diperhatikan oleh guru agar penilaian yang dilakukan dapat menjamin
prinsip objektif. kemampuan peserta didik sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya. Penilaian yang dilakukan secara objektif, dapat menjamin
akuntabilitas penilaian.
Terdapat beberapa alternatif bentuk soal yang dapat digunakan untuk
menulis butir soal HOTS diantaranya pilihan ganda dan uraian.
a) Pilihan ganda kompleks (benar/salah, atau ya/tidak)
Soal bentuk pilihan ganda kompleks bertujuan untuk menguji pemahaman
peserta didik terhadap suatu masalah secara komprehensif yang terkait antara
pernyataan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana soal pilihan ganda biasa,
soal-soal HOTS yang berbentuk pilihan ganda kompleks juga memuat stimulus yang
bersumber pada situasi kontekstual. Peserta didik diberikan beberapa pernyataan
yang terkait dengan stilmulus/bacaan, lalu peserta didik diminta memilih
benar/salah atau ya/tidak. Pernyataan-pernyataan yang diberikan tersebut
terkait antara satu dengan yang lainnya. Susunan pernyataan benar dan
pernyataan salah agar diacak, tidak sistematis mengikuti pola tertentu. Susunan
yang terpola sistematis dapat memberi petunjuk kepada jawaban yang benar.
Apabila peserta didik menjawab benar pada semua pernyataan yang diberikan
diberikan skor 1 atau apabila terdapat kesalahan pada salah satu pernyataan
maka diberi skor 0.
b) Uraian
Soal bentuk uraian adalah suatu soal yang jawabannya menuntut peserta
didik untuk mengorganisasikan gagasan atau hal-hal yang telah dipelajarinya
dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut menggunakan
kalimatnya sendiri dalam bentuk tertulis.
Dalam menulis soal bentuk uraian, penulis soal harus mempunyai gambaran
tentang ruang lingkup materi yang ditanyakan dan lingkup jawaban yang
diharapkan, kedalaman dan panjang jawaban, atau rincian jawaban yang mungkin
diberikan oleh peserta didik. Dengan kata lain, ruang lingkup ini menunjukkan
kriteria luas atau sempitnya masalah yang ditanyakan. Di samping itu, ruang
lingkup tersebut harus tegas dan jelas tergambar dalam rumusan soalnya.
C. LEVEL KOGNITIF
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa kata kerja
operasional (KKO) yang sama namun berada pada ranah yang berbeda. Perbedaan
penafsiran ini sering muncul ketika guru menentukan ranah KKO yang akan
digunakan dalam penulisan indikator soal. Untuk meminimalkan permasalahan
tersebut, Puspendik (2015) mengklasifikasikannya menjadi 3 level kognitif
sebagaimana digunakan dalam kisi-kisi UN sejak tahun pelajaran 2015/2016.
Pengelompokan level kognitif tersebut yaitu: pengetahuan dan pemahaman (level
1), aplikasi (level 2), dan penalaran (level 3) (Sumber: Puspendik).
1. Pengetahuan dan Pemahaman (Level 1)
Level kognitif pengetahuan dan pemahaman mencakup dimensi proses
berpikir mengetahui (C1) dan memahami (C2). Ciri-ciri soal pada level 1 adalah
mengukur pengetahuan faktual, konsep, dan prosedural. Terkadang soal-soal pada
level 1 merupakan soal kategori sukar, karena untuk
menjawab soal tersebut peserta didik harus dapat mengingat beberapa
rumus atau peristiwa, menghafal definisi, atau menyebutkan langkah-langkah
(prosedur) melakukan sesuatu. Namun soal-soal pada level 1 bukanlah merupakan
soal-soal HOTS.
2. Aplikasi (Level 2)
Soal-soal pada level kognitif aplikasi membutuhkan kemampuan yang lebih
tinggi daripada level pengetahuan dan pemahaman. Level kognitif aplikasi
mencakup dimensi proses berpikir menerapkan atau mengaplikasikan (C3).
Ciri-ciri soal pada level 2 adalah mengukur kemampuan: a) menggunakan
pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural tertentu pada konsep lain dalam
mapel yang sama atau mapel lainnya; atau b) menerapkan pengetahuan faktual,
konseptual, dan prosedural tertentu untuk menyelesaikan masalah kontekstual
(situasi lain). Bisa jadi soal-soal pada level 2 merupakan soal kategori sedang
atau sukar, karena untuk menjawab soal tersebut peserta didik harus dapat
mengingat beberapa rumus atau peristiwa, menghafal definisi/konsep, atau
menyebutkan langkah-langkah (prosedur) melakukan sesuatu. Selanjutnya
pengetahuan tersebut digunakan pada konsep lain atau untuk menyelesaikan
permasalahan kontekstual. Namun soal-soal pada level 2 bukanlah merupakan
soal-soal HOTS. Contoh KKO yang sering digunakan adalah: menerapkan,
menggunakan, menentukan, menghitung, membuktikan, dan lain-lain.
3. Penalaran (Level 3)
Level penalaran merupakan level kemampuan berpikir tingkat tinggi
(HOTS), karena untuk menjawab soal-soal pada level 3 peserta didik harus mampu
mengingat, memahami, dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, dan
prosedural serta memiliki logika dan penalaran yang tinggi untuk memecahkan
masalah-masalah kontekstual (situasi nyata yang tidak rutin). Level penalaran
mencakup dimensi proses berpikir menganalisis (C4),
mengevaluasi (C5), dan mengkreasi (C6). Pada dimensi proses berpikir
menganalisis (C4) menuntut kemampuan peserta didik untuk menspesifikasi
aspek-aspek/elemen, menguraikan, mengorganisir, membandingkan, dan menemukan
makna tersirat. Pada dimensi proses berpikir mengevaluasi (C5) menuntut
kemampuan peserta didik untuk menyusun hipotesis, mengkritik, memprediksi,
menilai, menguji, membenarkan atau menyalahkan. Sedangkan pada dimensi proses
berpikir mengkreasi (C6) menuntut kemampuan peserta didik untuk merancang,
membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, memperbaharui, menyempurnakan,
memperkuat, memperindah, menggubah. Soal-soal pada level penalaran tidak selalu
merupakan soal-soal sulit. Ciri-ciri soal pada level 3 adalah menuntut
kemampuan menggunakan penalaran dan logika untuk mengambil keputusan
(evaluasi), memprediksi dan merefleksi, serta kemampuan menyusun strategi baru
untuk memecahkan masalah kontesktual yang tidak rutin. Kemampuan
menginterpretasi, mencari hubungan antar konsep, dan kemampuan mentransfer
konsep satu ke konsep lain, merupakan kemampuan yang sangat penting untuk
menyelesaikan soal-soal level 3 (penalaran). Kata kerja operasional (KKO) yang
sering digunakan antara lain: menguraikan, mengorganisir, membandingkan,
menyusun hipotesis, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, menyimpulkan,
merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, memperbaharui,
menyempurnakan, memperkuat, memperindah, dan menggubah.
D. LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN SOAL HOTS
Pada penyusunan soal HOTS, penulis soal dituntut dapat menentukan
kompetensi yang hendak diukur dan merumuskan materi yang akan dijadikan dasar
pertanyaan. Pertanyaan tersebut disertai stimulus yang tepat dalam konteks
tertentu sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Selain itu, materi dengan
penalaran tinggi yang akan ditanyakan, tidak selalu tersedia di dalam buku
pelajaran. Oleh karena itu, dalam penyusunan soal
HOTS dibutuhkan penguasaan materi ajar, keterampilan dalam menulis soal
(konstruksi soal), dan kreativitas guru dalam memilih stimulus soal sesuai
dengan situasi dan kondisi daerah di sekitar satuan pendidikan.
Berikut langkah-langkah penyusunan soal HOTS:
1. Menganalisis KD
Analisis KD diawali dengan menentukan KD yang terdapat pada Permendikbud
no. 37 tahun 2018. Selanjutnya, KD yang sudah ditentukan dianalisis berdasarkan
tingkat kognitifnya. Tidak semua KD yang terdapat pada Permendikbud no. 37
tahun 2018 berada dalam tingkat kognitif yang sama. KD yang berada pada tingkat
kognitif C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan C6 (mengkreasi) dapat
disusun soal HOTS. KD yang berada pada tingkat kognitif C1 (mengingat), C2
(memahami), dan C3 (menerapkan) tidak dapat langsung disusun soal HOTS. KD
tersebut dapat disusun soal HOTS, bila sebelumnya dirumuskan terlebih dahulu
IPK pengayaan dengan tingkat kognitif C4, C5, dan C6. Guru-guru secara mandiri
atau melalui forum KKG/MGMP dapat melakukan analisis KD yang dapat disusun
menjadi soal-soal HOTS.
Contoh menganalisis KD pada jenjang SMP:
a) KD yang akan diukur.
3.5 Menganalisis sistem pencernaan pada manusia dan memahami gangguan
yang berhubungan dengan sistem pencernaan, serta upaya menjaga kesehatan sistem
pencernaan.
b) Analisis tingkat kognitif KD yang akan diukur.
3.5 Menganalisis sistem pencernaan pada manusia dan memahami gangguan
yang berhubungan dengan sistem pencernaan, serta upaya
Kata kerja “menganalisis” dalam konteks pada KD 3.5 berada pada tingkat
kognitif C4 (menganalisis) atau pada level 3 (C4). Kata kerja “memahami” dalam
konteks pada KD 3.5 berada pada tingkat kognitif C2 (memahami) atau pada level
1 (C2).
c) Perumusan IPK.
Rumusan IPK yang dapat dikembangkan yaitu:
IPK pendukung:
3.5.1 Mengidentifikasi jenis-jenis zat makanan yang dibutuhkan oleh
manusia.
3.5.2 Menjelaskan fungsi jenis-jenis zat makanan bagi manusia.
3.5.3 Mengidentifikasi kandungan zat makanan pada makanan.
3.5.4 Mengidentifikasi organ-organ sistem pencernaan pada manusia.
3.5.5 Menjelaskan proses pencernaan pada manusia.
3.5.6 Menentukan fungsi organ-organ sistem pencernaan pada proses
pencernaan pada manusia.
IPK kunci:
3.5.7 Menganalisis proses dan hasil pencernaan secara mekanik pada
manusia.
3.5.8 Menganalisis proses dan hasil pencernaan secara kimiawi pada
manusia
3.5.9 Menjelaskan gangguan yang berhubungan dengan sistem pencernaan
manusia.
3.5.10 Menjelaskan
upaya dalam memelihara kesehatan sistem pencernaan manusia.
IPK pengayaan:
3.5.11 Menyimpulkan
keberkaitan antara struktur pencernaan makanan dan kebutuhan tekstur makanan
untuk usia yang berbeda.
IPK kunci merupakan
target kompetensi dasar yang harus dapat tercapai sebagai standar minimal
kompetensi yang dicapai. IPK kunci pada KD 3.5 sudah dapat langsung dibuat soal
HOTS karena sudah berada dalam level 3 (C4) (untuk IPK 3.5.7 dan IPK 3.5.8).
Hal penting yang
harus diperhatikan yaitu bila hasil analisis KD yang akan diukur berada pada
ranah kognitif C1, C2, atau C3, maka jika akan menyusun soal HOTS, wajib
terlebih dahulu merumuskan IPK pengayaan. IPK pengayaan yang disusun mulai dari
1 tingkat kognitif dari tingkat kognitif KD.
Contoh soal HOTS yang
dapat dikembangkan dari KD 3.5 tersebut (IPK 3.5.7) ada pada bagian “CONTOH
PENGEMBANGAN SOAL HOTS PADA JENJANG SD, SMP, SMA, DAN SMK”.
2. Menyusun kisi-kisi soal
Kisi-kisi penyusunan
soal digunakan guru untuk menyusun soal HOTS. Secara umum, kisi-kisi tersebut
memandu guru dalam:
a. memilih KD yang
dapat dibuat soal HOTS;
b. menentukan lingkup
materi dan materi yang terkait dengan KD yang akan diuji;
c. merumuskan
indikator soal;
d. menentukan nomor
soal;
e. menentukan level kognitif (L1 untuk tingkat kognitif C1 dan C2, L2
untuk tingkat C3, dan L3 untuk tingkat kognitif C4, C5, dan C6); dan
f. Menentukan bentuk soal yang akan digunakan.
3. Memilih stimulus yang tepat dan kontekstual
Stimulus yang digunakan harus tepat, artinya mendorong peserta didik
untuk mencermati soal. Stimulus yang tepat umumnya baru dan belum pernah dibaca
oleh peserta didik. Stimulus kontekstual dimaksudkan stimulus yang sesuai
dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, menarik, mendorong peserta didik
untuk membaca. Dalam konteks Ujian Sekolah, guru dapat memilih stimulus dari
lingkungan sekolah atau daerah setempat.
4. Menulis butir pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi soal
Butir-butir pertanyaan ditulis sesuai dengan kaidah penulisan butir soal
HOTS. Kaidah penulisan butir soal HOTS, agak berbeda dengan kaidah penulisan
butir soal pada umumnya. Perbedaannya terletak pada aspek materi, sedangkan
pada aspek konstruksi dan bahasa relatif sama. Setiap butir soal ditulis pada kartu
soal, sesuai format terlampir.
5. Membuat pedoman penskoran (rubrik) atau kunci jawaban
Setiap butir soal HOTS yang ditulis hendaknya dilengkapi dengan pedoman
penskoran atau kunci jawaban. Pedoman penskoran dibuat untuk bentuk soal
uraian. Sedangkan kunci jawaban dibuat untuk bentuk soal pilihan ganda, pilihan
ganda kompleks (benar/salah, ya/tidak), dan isian singkat.
CONTOH PENGEMBANGAN SOAL HOTS PADA JENJANG SD, SMP, SMA, DAN SMK
A. Jenjang SD
Kisi-kisi soal:
1. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Jenis Sekolah : SD Negeri
Kelas : VI
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
B. Jenjang SMP
1. Mata Pelajaran IPA
Jenis sekolah : SMP Negeri
Kelas : VIII
Mata pelajaran : IPA
2. Mata Pelajaran:
Matematika
Jenis sekolah : SMP
Negeri
Kelas : VII
Mata pelajaran :
Matematika
3. Mata Pelajaran:
Bahasa Indonesia
Jenis sekolah : SMP
Negeri
Kelas : VII
Mata pelajaran :
Bahasa Indonesia
PENUTUP
Buku pegangan penilaian Higher Order Thinking Skills ini merupakan acuan
bagi pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan agar memiliki pemahaman yang sejalan dengan
kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya berkaitan dengan
penilaian HOTS. Melalui buku pegangan ini, pendidik diharapkan tidak akan
mengalami kendala berarti dalam penerapannya.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan melalui Direktorat
Pendidikan Dasar telah berupaya optimal untuk memfasilitasi implementasi
penilaian berbasis HOTS, tetapi semuanya akan berpulang pada kesungguhan,
sikap, dan keterampilan kepala sekolah, pendidik, pengawas sekolah, serta Dinas
Pendidikan terkait dalam mengimplementasikannya. Dalam hal ini, perubahan pola
pikir (mindset) kepala sekolah, pendidik, pengawas sekolah, orangtua, serta
pemangku kepentingan, terkait dengan berbagai perkembangan dalam sistem
penilaian merupakan prasyarat bagi suksesnya implementasi penilaian berbasis
HOTS.
Terimakasih bos penolaian HOTS nya
BalasHapus