Sejarah singkat Lahirnya Hari Santri Nasional

 𝙅𝙚𝙧𝙞𝙝 𝙋𝙖𝙮𝙖𝙝 𝙆𝙖𝙪𝙢 𝙎𝙖𝙧𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙚𝙣𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙣𝙜𝙠𝙞𝙧𝙠𝙖𝙣


SANTRI, SELALU DIBUNGKAM 

SEJARAH LAHIRNYA HARI SANTRI


Dalam sejarah pertempuran 10 November 1945, awalnya tidak ada yang mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisan Prof. Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada.


Bung Tomo yang berpidato teriak-teriak, dalam bukunya juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa & resolusi jihad pernah ada. Laporan tulisan Mayor Jendral Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa & resolusi jihad.


Karena itu, banyak orang menganggap fatwa & resolusi jihad itu hanya dongeng dan cerita orang NU saja. 


“Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren khususnya NU,” itu kesimpulan seminar nasional di PTN besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia, pada 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang mereka menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah.” Aneh.


Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi 𝐛𝐚𝐡𝐰𝐚 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐮𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐚𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐝𝐢𝐥𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐤𝐚𝐧. 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 1990 𝐚𝐝𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐧 45 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 10 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫. Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari golongan itu, yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah. 


“Itu ceritanya, 10 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐣𝐚𝐬𝐚 𝐢𝐭𝐮 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐧𝐲𝐚 𝐊𝐲𝐚𝐢 𝐇𝐚𝐬𝐲𝐢𝐦 𝐀𝐬𝐲'𝐚𝐫𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐫𝐚 𝐤𝐢𝐚𝐢. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?" begitu komentar Nyai Sholihah, ibu Gus Dur.


Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur meminta klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua & senior di kalangan kelompok sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar!”


“Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus”, katanya kepada Gus Dur. Gus Dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dinganggap bodoh oleh mereka. Tahun 1991 Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran di kalangan anak muda NU.


𝐀𝐧𝐚𝐤-𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐬𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐚𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐬𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥 (𝐚𝐧𝐬𝐨𝐬) 𝐝𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐬𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥, 𝐟𝐢𝐥𝐬𝐚𝐟𝐚𝐭, 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡, 𝐠𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤, 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐞𝐨𝐬𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢. 𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐝𝐢𝐚𝐣𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐮𝐩𝐚𝐲𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐢𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐩 𝐛𝐨𝐝𝐨𝐡. 𝐃𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐤𝐢𝐧𝐢. “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu, karena itu, agak faham,” kata Dr. H. Agus Sunyoto.


Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada, 𝐃𝐫. 𝐇. 𝐀𝐠𝐮𝐬 𝐒𝐮𝐧𝐲𝐨𝐭𝐨 𝐦𝐞𝐧𝐞𝐦𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚, 𝐅𝐫𝐞𝐝𝐞𝐫𝐢𝐤 𝐀𝐧𝐝𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧. 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐣𝐚𝐣𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐉𝐞𝐩𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 1942-1945, ia menulis begini:


"𝐏𝐚𝐝𝐚 22 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 1945 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐚𝐝𝐚 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐮𝐫𝐮𝐬 𝐁𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐍𝐚𝐡𝐝𝐥𝐚𝐭𝐮𝐥 𝐔𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚. 𝐓𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 27 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫, 𝐊𝐨𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐣𝐮𝐠𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐮𝐚𝐭 𝐥𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝. 𝐊𝐨𝐫𝐚𝐧 𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐝𝐢 𝐉𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚, 𝐣𝐮𝐠𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐮𝐚𝐭 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝."


𝐏𝐞𝐫𝐢𝐬𝐭𝐢𝐰𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚, 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐥𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐚𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐩 𝐍𝐔 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐠𝐨𝐥𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐩𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡. 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐤𝐞𝐛𝐢𝐫𝐢. 𝐃𝐨𝐤𝐮𝐦𝐞𝐧-𝐝𝐨𝐤𝐮𝐦𝐞𝐧 𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐡𝐚𝐬𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚, 𝐈𝐧𝐠𝐠𝐫𝐢𝐬, 𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧𝐜𝐢𝐬, 𝐉𝐞𝐩𝐚𝐧𝐠, 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧𝐲𝐚, 𝐝𝐢𝐛𝐨𝐧𝐠𝐤𝐚𝐫.


𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐚𝐧𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐨𝐤𝐭𝐨𝐫 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐍𝐔 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐚𝐩𝐚-𝐚𝐩𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐤𝐞𝐦𝐞𝐫𝐝𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧.


Ketika Indonesia pertama kali merdeka 1945, kita tidak punya tentara. Baru dua bulan kemudian ada tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja. Ternyata, TKR di Jawa ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas 3 resimen dan 15 batalyon.


Artinya TKR jumlahnya ada 100.000 pasukan. Itu TKR pertama yang nantinya menjadi TNI. 𝐃𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐯𝐢𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐓𝐊𝐑 𝐢𝐭𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐧𝐚𝐦𝐚 𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐞𝐥 𝐊𝐇. 𝐒𝐚𝐦’𝐮𝐧, 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐬𝐮𝐡 𝐩𝐞𝐬𝐚𝐧𝐭𝐫𝐞𝐧 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐧𝐭𝐞𝐧. 𝐊𝐨𝐦𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐯𝐢𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐤𝐢𝐚𝐢, 𝐲𝐚𝐤𝐧𝐢 𝐤𝐨𝐥𝐨𝐧𝐞𝐥 𝐊𝐇. 𝐀𝐫𝐰𝐢𝐣𝐢 𝐊𝐚𝐫𝐭𝐚𝐰𝐢𝐧𝐚𝐭𝐚 (𝐓𝐚𝐬𝐢𝐤𝐦𝐚𝐥𝐚𝐲𝐚). 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐭𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐫𝐞𝐬𝐢𝐦𝐞𝐧 𝐤𝐢𝐚𝐢 𝐣𝐮𝐠𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧.


𝐅𝐚𝐤𝐭𝐚 𝐣𝐮𝐠𝐚, 𝐫𝐞𝐬𝐢𝐦𝐞𝐧 17 𝐝𝐢𝐩𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐋𝐞𝐭𝐧𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐞𝐥 𝐊𝐇. 𝐈𝐬𝐤𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐈𝐝𝐫𝐢𝐬. 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐦𝐞𝐧 8 𝐝𝐢𝐩𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧 𝐋𝐞𝐭𝐧𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐞𝐥 𝐊𝐇. 𝐘𝐮𝐧𝐮𝐬 𝐀𝐧𝐢𝐬. 𝐃𝐢 𝐛𝐚𝐭𝐚𝐥𝐲𝐨𝐧 𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐤𝐨𝐦𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐚𝐢. 𝐊𝐨𝐦𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐭𝐚𝐥𝐲𝐨𝐧 𝐓𝐊𝐑 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐢𝐬𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚, 𝐝𝐢𝐩𝐢𝐦𝐩𝐢𝐧 𝐌𝐚𝐲𝐨𝐫 𝐊𝐇. 𝐈𝐬𝐤𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐒𝐮𝐥𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐚𝐭 𝐢𝐭𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭 𝐑𝐚𝐢𝐬 𝐒𝐮𝐫𝐢𝐲𝐚𝐡 𝐏𝐂𝐍𝐔 𝐊𝐚𝐛𝐮𝐩𝐚𝐭𝐞𝐧 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐧𝐠. 𝐈𝐧𝐢 𝐝𝐨𝐤𝐮𝐦𝐞𝐧 𝐚𝐫𝐬𝐢𝐩 𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥, 𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐞𝐤𝐫𝐞𝐭𝐚𝐫𝐢𝐚𝐭 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐓𝐍𝐈.


Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran kiai. KH. Hasyim Asy'ari yang ditetapkan pahlawan nasional oleh Bung Karno pun tidak ditulis. "𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐣𝐚𝐬𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐚 𝐤𝐢𝐚𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐧𝐠𝐤𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐭𝐮𝐥 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐢𝐫𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐢𝐧𝐢."


Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit untuk membayar tentara. "𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐚 𝐤𝐢𝐚𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢-𝐬𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐛𝐚𝐲𝐚𝐫𝐚𝐧." 𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐚 𝐤𝐢𝐚𝐢, 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚-𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐇𝐢𝐳𝐛𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 "𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐨𝐫𝐛𝐚𝐧 𝐧𝐲𝐚𝐰𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐲𝐚𝐫." 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐧, 𝐍𝐔 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐰𝐚𝐬𝐭𝐚 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐚𝐧𝐬𝐞𝐫, 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐮𝐠𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐲𝐚𝐫. 😆


Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950. Selama 45 sampai perjuangan di tahun 50-an itu, tidak ada tentara yang dibayar negara. 𝐊𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐦𝐚𝐮 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐤𝐢𝐭 𝐛𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫, 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 10 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 1945 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐢𝐬𝐭𝐢𝐰𝐚 𝐩𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐚𝐧𝐞𝐡 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡. Kenapa? 𝐊𝐨𝐤 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢 15 𝐀𝐠𝐮𝐬𝐭𝐮𝐬 1945.


"𝐒𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 10 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫, 𝐭𝐞𝐫𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 4 𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚, 𝐲𝐚𝐤𝐧𝐢 26, 27, 28, 29 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 1945. Kok ‘ujug-ujug’ muncul perang 4 hari ini ceritanya bagaimana? Jawabnya: 𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 26 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫, 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐠𝐨𝐥𝐚𝐤, 𝐲𝐚𝐤𝐧𝐢 𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐝𝐚 𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝 𝐏𝐁𝐍𝐔 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 22 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫. 𝐊𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠𝐚𝐭𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐒𝐚𝐧𝐭𝐫𝐢.


Tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah berpikir akan berperang dan bertempur dengan penduduk Surabaya. Perang selesai kok. Begitu pikirnya. 𝐓𝐚𝐩𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐫𝐮𝐡 𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝, 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐬𝐢𝐚𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐠𝐠𝐫𝐢𝐬, 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐢𝐭𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚. "𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐢𝐭𝐮𝐭𝐮𝐩𝐢".


𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝 𝐝𝐢𝐭𝐮𝐭𝐮𝐩𝐢, 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐬𝐞𝐤𝐢𝐥𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐢𝐬𝐭𝐢𝐰𝐚 10 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐮𝐭 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐧𝐠𝐠𝐫𝐢𝐬 ‘𝐨𝐫𝐚 𝐰𝐚𝐫𝐚𝐬’. 𝐍𝐠𝐚𝐩𝐚𝐢𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐛𝐨𝐦𝐢 𝐤𝐨𝐭𝐚 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐛? 𝐓𝐚𝐩𝐢 𝐤𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐦𝐞𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐫𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐢𝐚𝐧 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐫𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝, 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐦𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐥. “𝐎𝐲𝐚, 𝐦𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐣𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐚𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐬𝐮𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐢𝐛𝐮𝐧𝐮𝐡 𝐚𝐫𝐞𝐤-𝐚𝐫𝐞𝐤 𝐁𝐨𝐧𝐞𝐤 𝐒𝐮𝐫𝐨𝐛𝐨𝐲𝐨”.


𝐅𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐝 𝐦𝐮𝐧𝐜𝐮𝐥 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐏𝐫𝐞𝐬𝐢𝐝𝐞𝐧 𝐒𝐨𝐞𝐤𝐚𝐫𝐧𝐨 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐏𝐁𝐍𝐔 : "apa yang harus dilakukan warga Negara Indonesia kalau diserang musuh mengingat Belanda ingin kembali menguasai ???". Bung Karno juga menyatakan "bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia ???". Sejak diproklamasikan 17 Agustus dan dibentuk 18 Agustus, tidak ada satu pun negara di dunia yang mau mengakui.


Oleh dunia, Indonesia diberitakan sebagai negara boneka bikinan Jepang. Bukan atas kehendak rakyat. Artinya, Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat. 𝐅𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐝 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐝𝐢𝐦𝐮𝐧𝐜𝐮𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐏𝐁𝐍𝐔. 𝐆𝐚𝐫𝐚-𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐢𝐭𝐮, 𝐈𝐧𝐠𝐠𝐫𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐮 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠 25 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐮𝐝𝐮𝐤 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐬𝐢𝐚𝐩 𝐛𝐞𝐫𝐩𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠.


Ternyata sore hari, Gubernur Jawa Timur mempersilakan. “Silahkan Inggris masuk tapi di tempat yang secukupnya saja”. Ditunjukkanlah beberapa lokasi, kemudian mereka masuk. Tanggal 26 Oktober, ternyata Inggris malah membangun banyak pos-pos pertahanan dengan karung-karung pasir yang ditumpuk & diisi senapan mesin.


“Lho, ini apa maunya Inggris. Kan sudah tersiar kabar luas kalau Belanda akan kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Inggris,” begitu kata arek-arek. Pada 26 Oktober sore hari, pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung keluar ‘nawur’ pasukan Inggris. “Ayo ‘tawur-tawuran...!”


Para pelaku mengatakan, itu bukan perang mas, tetapi tawuran. Kenapa? Gak ada komandanya, tidak ada yang memimpin. “𝐏𝐨𝐤𝐨𝐤𝐞 𝐰𝐨𝐧𝐠 𝐤𝐫𝐮𝐧𝐠𝐮 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝... 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝… 𝐌𝐛𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐬𝐲𝐢𝐦... 𝐌𝐛𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐬𝐲𝐢𝐦…”. Berduyun-duyun, arek-arek Suroboyo sudah keluar rumah semua dan langsung tawur sambil teriak ‘Allahu Akbar’ 𝐝𝐚𝐧 𝐢𝐭𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐥𝐚𝐧𝐠𝐬𝐮𝐧𝐠 27 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫.


𝐌𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐠𝐞𝐫𝐚𝐤 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐬𝐞𝐫𝐮𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐡𝐚𝐝 𝐌𝐛𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐬𝐲𝐢𝐦 𝐢𝐭𝐮 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐥𝐞𝐰𝐚𝐭 𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫-𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫, 𝐦𝐚𝐬𝐣𝐢𝐝-𝐦𝐚𝐬𝐣𝐢𝐝, 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐩𝐞𝐚𝐤𝐞𝐫-𝐬𝐩𝐞𝐚𝐤𝐞𝐫. Pada 28 Oktober tentara ikut arus arek-arek, ikut gelut dengan Inggris. Massa langsung dipimpin tentara. Dalam pertempuran 28 Oktober ini 1000 lebih tentara Inggris mati dibunuh.


Tapi tentara tidak mau mengakui karena Indonesia meski sudah merdeka, belum ada yang mengakui. Itu jadi urusan besar tingkat dunia jika ada kabar tentara Indonesia bunuh Inggris. Tentara tidak mau ikut campur. Negara belum ada yang mengakui kok sudah klaim bunuh tentara Inggris. Itu semua ikhtiyar arek-arek Suroboyo kabeh.


Pada 29 Oktober pertempuran itu masih terus terjadi. Inggris akhirnya mendatangkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk mendamaikan. Pada 30 Oktober ditandatanganilah kesepakatan damai tidak saling menembak. Yang tanda tangan Gubernur Jatim juga. Sudah damai, tapi massa kampung tidak mau damai.


Pada 30 Oktober akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby digranat arek-arek Suroboyo. 𝗠𝗮𝘁𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗲𝗻𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 '𝗱𝗶 𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗺𝘂𝗱𝗮 𝗔𝗻𝘀𝗼𝗿.' 𝗗𝗶𝘁𝗲𝗺𝗯𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗼𝗯𝗶𝗹𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗴𝗿𝗮𝗻𝗮𝘁 𝗱𝗶 𝗝𝗲𝗺𝗯𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗿𝗮𝗵. Sejarah kematian Mallaby ini tidak diakui oleh Inggris. Ada yang menyebut Mallaby mati dibunuh secara licik oleh Indonesia. 𝐀𝐧𝐞𝐡, 𝐣𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐚𝐥 𝐦𝐚𝐭𝐢, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐝𝐢𝐬𝐞𝐦𝐛𝐮𝐧𝐲𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐚𝐛𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐦𝐚𝐥𝐮.


Inggris marah betul. Masa negara kolonial kalah. Mereka malu dan bingung. Perang sudah selesai, tapi pasukan Inggris kok diserang, jenderalnya dibunuh. Apa ini maksudnya? “Kalau sampai tanggal 9 Nopember jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-orang Surabaya masih yang memegang bedil, meriam dst. tidak menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 Nopember jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara," begitu amuk jenderal tertinggi Inggris.


Datanglah tujuh kapal perang langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah diarahkan ke Surabaya. Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan bangunan. Satu skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya kala itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.


Pada 9 November jam setengah empat sore, Mbah Hasyim yang baru pulang usai Konferensi Masyumi di Jogja sebagai ketua, mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam Inggris. “𝐅𝐚𝐫𝐝𝐡𝐮 '𝐚𝐢𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐮𝐦𝐚𝐭 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐣𝐚𝐫𝐚𝐤 94 𝐤𝐢𝐥𝐨𝐦𝐞𝐭𝐞𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐨𝐭𝐚 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐥𝐚 𝐊𝐨𝐭𝐚 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚.” Ukuran 94 kilometer itu adalah jarak dibolehkannya meng-qashar dan men-jamak shalat.


Wilayah Sidoarjo, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, wilayah Mataraman, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang datang semua karena dalam jarak radius 94 kilometer. Dari Kediri, Lirboyo ini datang 𝗱𝗶𝗽𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗞𝘆𝗮𝗶 𝗠𝗮𝗵𝗿𝘂𝘀 '𝗔𝗹𝗶 (𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝗸𝗶𝗮𝗶 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘀𝘂𝗵 𝗴𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗮𝘄𝗮𝗹 𝗣𝗼𝗻𝗽𝗲𝘀 𝗟𝗶𝗿𝗯𝗼𝘆𝗼, 𝗞𝗲𝗱𝗶𝗿𝗶). 𝗦𝗲𝗿𝘂𝗮𝗻 𝗠𝗯𝗮𝗵 𝗛𝗮𝘀𝘆𝗶𝗺 𝗹𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘀𝗮𝗺𝗯𝘂𝘁 𝗹𝘂𝗮𝗿 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮. 𝗕𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗖𝗶𝗿𝗲𝗯𝗼𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗱𝗮𝗿𝗶 500 𝗸𝗶𝗹𝗼𝗺𝗲𝘁𝗲𝗿 𝗱𝗮𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗲 𝗦𝘂𝗿𝗮𝗯𝗮𝘆𝗮 𝗶𝗸𝘂𝘁 𝘀𝗲𝗿𝘂𝗮𝗻 𝗷𝗶𝗵𝗮𝗱 𝗣𝗕𝗡𝗨.


Anak-anak kecil bahkan orang-orang dari lintas agama juga ikut berperang. Orang Konghucu, Kristen, dan Budha semua ikut berjihad. Selain Mallaby, yang juga terbunuh dalam pertempuran di Surabaya adalah Brigadir Jendral Loder Saimen. Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, para kiai, dan santri. Tapi lihat, apa yang dilakukan pemerintah di kemudian hari kepada para kiai ini? Dimanipulasi.


Demikian uraian KH. Dr. Agus Sunyoto saat 

menghadiri bedah buku "𝐅𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐬𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐝" di Pondok Lirboyo, 3 November 2017.


𝗦𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮𝘁 𝗛𝗮𝗿𝗶 𝗦𝗮𝗻𝘁𝗿𝗶 𝗡𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹

Belum ada Komentar untuk "Sejarah singkat Lahirnya Hari Santri Nasional "

Posting Komentar

Silahkan Masukan Komentar dan saran Anda yang membangun agar blog saya bisa menjadi lebih baik. Terima kasih

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel